Ini satu cerita yang terinspirasi dari sebuah penyakit yang telah berhasil menarik perhatian saya. Disleksia. Saya masih pemula. Banyak typo dan kesalahan EYD harap jangan di comment :)
OK...check it out, guys~
***
Aku berjalan menyusuri koridor panjang yang diapit
oleh deretan ruang kelas XII dengan setumpuk kaset dipelukanku.
Kuperlambat
langkahku saat tidak sengaja menemukan sosok itu di balik salah satu pintu
kelas. Dari sudut mata, aku yakin ia sekilas melirik padaku. Namun hanya sebuah
lirikan yang tak berarti. Tanpa satu pun makna yang tersirat.
Dengan
sedikit rasa kecewa, aku terus melangkahkan kakiku menuju studio musik yang ada
di ujung koridor.
Aku
berhenti di depan pintu. Dengan susah payah, aku mencoba menahan tumpukan kaset
ditanganku menggunakan lutut. Kugeser pintu itu ke kanan lalu masuk dan
meletakkan kaset-kaset itu di meja dekat piano.
Tempat
ini sudah terasa seperti rumah keduaku, atau mungkin lebih nyaman. Di sini aku
selalu merasakan ketenangan dan dari sini aku dapat memperhatikannya saat
pulang sekolah.
Aku menyalakan televisi dan memutar salah satu
kaset di DVD player.
Kubenarkan
letak kacamataku sambil duduk di bangku depan televisi. Setelah tayangan di
televisi muncul, aku segera menyambar sebuah gitar yang berada di dekat bangku.
Mataku
lekat mengamati tayangan di televisi, sesekali aku memindahkan letak jariku
dari senar yang satu ke senar yang lainnya sesuai instruksi yang kudengar.
Yah.
Aku sedang berusaha memainkan gitar. Bukan memainkan, tapi berusaha mengingat
letak masing-masing kunci nada.
Setiap
hari dalam 2 bulan terakhir, aku selalu berada di sini saat istirahat dan
setelah pulang sekolah. Aku hanya punya satu tujuan. Aku harus bisa memainkan
lagu itu. Harus!
Hanya
satu lagu, kedengarannya mudah. Namun tidak bagiku. Menghafalnya sangat-sangat
sulit. Bahkan dalam dua bulan aku belum dapat mengingat letak kunci nada, dan
lagi aku belum menghafal liriknya.
Kadang aku merasa putus asa dan ingin menyerah.
Karena itulah aku membuat lukisan wajah oval dengan mata hazel itu dan menempelkannya di dekat jendela. Jadi saat melihat
wajahnya, keputus-asaanku akan musnah seketika.
Aku
tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus bisa memainkan lagu ini. Lagipula
ini hanya satu buah lagu, tak akan terlalu sulit.
Aku benar-benar harus bisa memainkannya! Karena ia
berkata ingin mendengarkan lagu ini, maka aku harus bisa!
***
Matahari sudah menenggelamkan separuh bagiannya.
Aku masih berada di dalam taksi yang akan mengantarku pulang. Setelah berlatih
selama tiga jam dan membuat ujung jari-jariku memerah, aku memutuskan untuk
pulang ke rumah. Lagipula, mama akan sangat marah jika aku pulang melebihi jam
6 sore.
“Berhenti di ujung gang depan, Pak!” kataku sambil
menyiapkan selembar uang dari dompet.
Tak lama kemudian, taksi yang kutumpangi berhenti.
Aku segera menyerahkan uang itu kepada pak supir yang menerimanya dengan senyum
ramah.
Aku berjalan lunglai ke dalam rumah. Kenapa aku
merasa sangat lelah? Mungkin karena aku terlalu memikirkan banyak hal.
“Ashla,” panggil mama saat aku tengah menaiki
tangga.
Aku menolehkan kepalaku lalu memaksakan sebuah
senyum, “Ya?”
“Sudah makan?”
“Tadi di sekolah.” Kataku sambil mengangguk pelan.
Aku kembali menaiki tangga menuju kamarku.
Pintu kamar kututup rapat lalu menguncinya.
Kulempar tasku ke ranjang yang berlapiskan seprai biru muda.
Kutekan remote
control yang ada di meja kemudian terdengar sebuah lagu mengalun lembut.
It’s
so big, big world..
Yah, dunia ini memang besar! Sangat besar. Namun
kenapa aku harus termasuk dalam bagian itu? Aku tak menyukainya. Membencinya.
Dari sekian banyak manusia, kenapa harus aku? Penderitaan yang kualami sudah
cukup berat tanpa bagian ini.
Sekuat apapun aku berusaha, aku tak pernah bisa
memecahkannya. Bodoh!
Hal ini benar-benar menggangguku. IQ-ku 165, tapi
aku terlihat seperti orang bodoh. Sebodoh-bodohnya manusia, aku jauh lebih
bodoh. Mereka masih jauh beruntung dariku.
Ah! Kepalaku sakit. Aku tak ingin memikirkannya
lagi, tapi tak bisa. Aku mencoba tidak peduli, tapi justru membuatku semakin
frustasi.
Aku berbaring di ranjang sambil memeluk sebuah teddy-bear berwarna cokelat.
Kurogoh sebuah botol kecil yang ada di laci lalu
mengambil sebutir pil dari dalamnya. Kutelan pil itu segera.
Aku ingin beristirahat sebentar. Hanya sebentar
saja. Sebelum matahari muncul dan memaksaku untuk melakukan hal-hal yang
membosankan. Kecuali aku bertemu dengannya besok.
***
“Pagi,
ma!” sapaku di meja makan.
“Pagi,
ini bekalmu.”
Mama
mendorong sebuah kotak makan kepadaku. Aku segera memasukkannya ke dalam tas
dan melanjutkan makanku.
“Sepedamu?”
Tanya mama sambil mengoleskan selai nanas ke roti Trevor, adikku.
“Aku
meninggalkannya di sekolah.” Jawabku dengan mulut penuh.
Mama
menghentikan gerakan tangannya lalu memandangku, “Eh?”
“Kemarin
kepalaku sakit, jadi aku pulang menggunakan taksi.”
Mama
langsung mendekatiku sebelum aku menyelesaikan kalimat itu, “Kau sakit?”
ujarnya dengan nada khawatir.
“Tidak,
hanya saja…aku memikirkan banyak hal akhir-akhir ini.”
Wanita
itu menatapku heran, “ Ada apa?”
“Bukan
sesuatu yang penting. Sekarang aku baik-baik saja.”
Ia
menghela nafas lega sementara aku merasa bersalah karena sudah membuatnya
khawatir. Aku meminum susu di gelasku lalu beranjak dari kursi.
“Aku
berangkat.” Kataku.
“Apa
perlu Trev memboncengkanmu?” Tanya mama.
“No! Aku tidak mau!” jawab Tevor sambil
menuruni tangga.
Aku
memandangnya kesal sambil menjulurkan lidahku yang dibalasnya dengan dagu
terangkat.
“Tidak
perlu, aku akan naik taksi. Aku tidak mau membuat adikku yang manis harus
berputar dua kali untuk mengantarku sekolah. Aku pergi dulu, see ya!”
Di
luar rumah aku bisa mendengar mama memarahi Trevor. Aku terkikik geli. Rasakan
itu!
Aku
menyetop taksi di ujung gang. Hari-hariku yang membosankan segera dimulai.
***
Aku
membuka bekal makan siangku di kantin sekolah. Nasi goreng dengan telur mata
sapi di atasnya. Sepertinya enak. Aku menyendok dan memasukkannya ke dalam
mulut. Masakan mama selalu yang terbaik.
“Boleh
duduk di sini?” Tanya seseorang.
Aku
mendongakkan kepalaku, merasa mengenali suara itu. Walau hanya dua kali
mendengarnya secara dekat, aku sudah merekam permanen di memori otakku.
Saat
aku melihat mata hazel itu, kurasakan
angin berdesir di dadaku. Itu benar-benar dia.
Entah
seperti terhipnotis, aku menganggukkan kepalaku. “Tentu.” Jawabku parau.
Kali ini ia benar-benar duduk dihadapanku.
Menikmati makan siang bersamaku. Tiba-tiba ingatanku kembali ke dua bulan yang
lalu. Saat ia juga duduk dihadapanku, dengan posisi yang sama.
Flashback..
Aku masih belum percaya dengan penglihatanku
sendiri. Selama dua tahun, ini pertama kali aku bisa melihat wajahnya sedekat
ini! Awesome~
“Tidak makan?” ujarnya, mengagetkanku.
Aku tersenyum salah tingkah lalu melanjutkan
makanku.
“Aku menyukai..lagu ini.”
Aku berhenti makan dan menatapnya, “Eh?”
“Lagu ini, kau tak tahu? ..cause I wanna wrap you up..” katanya sambil
menyenandungkan lagu yang sedang diputar melewati radio sekolah. Aku
mendengarkan lagu itu, bagus.
“Aku ingin seseorang memainkannya untukku.”
Aku terdiam. Ia kembali dengan makan siangnya. Sementara
aku terus memandang rambut cokelat dan mata hazel-nya.
“Play it for
me…if you can.”
“Sorry?”
aku berusaha menyakinkan pendengaranku.
Ia tersenyum manis, sangat manis. “Ah, aku hanya
bercanda.”
Bercanda. Are
you joking me? Aku tak menganggap itu lelucon. Karena kau mengatakannya,
maka aku anggap itu sebuah permintaan. Sebuah hutang dan janji yang akan aku
tepati.
To
be continue…
Hahahaha...!!!!! Terlalu aneh, ya? Masih berlanjut, kok. Harap ditunggu.. :))
See ya!! (^__^)/
have done!!
ReplyDeleteaduh buruan dong, ini belum ada disleksianya --"
penasaran banget sama ceritanya ^^